Wednesday, December 17, 2008

Candi Brahu

Candi yang juga dikenal dengan nama candi Panengokan ini terdapat di Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. Inilah candi terbesar di antara situs-situs Kerajaan Majapahit yang jumlahnya ribuan tersebar di Trowulan dan sekitarnya.

Kerajaan Mojopahit Pada Masa Brawijaya III

Konsep Tanah Perdikan Berakhir Pada Rezim Soeharto 1979

Adalah Dyah Krtawijaya (Bhre Tumapel), raja ketujuh Kerajaan Mojopahit yang mendapat julukan sebagai Brawijaya III. Mengapa demikian?

Anam Anis-Mojokerto

Baginda Raja Brawijaya III naik tahta kerajaan pada tahun 1447 M dan bergelar Wijayaparakramawardhana, menggantikan Ratu Suhita (Raja Wanita) yang meninggal dunia. Penyebutan Dyah krtawijaya sebagai Brawijaya III tersebut karena raja ini memiliki nama yang berunsur Wijaya (keturunan Raden Wijaya) dan memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, sehingga dikagumi rakyatnya.
Dalam Prasasti Waringin Pitu disebutkan bahwa Krtawijaya bersifat Dewa Wisnu, memiliki jiwa yang tinggi dalam pemujaan terhadap para Dewa dan diibaratkan matahari (mentari), menyilaukan mata, bersumarak bersih nirmala yang disebabkan kemegahan beliau karena pada tubuh sang raja mengeluarkan cahaya (aurora). Sudah barang tentu sang raja memiliki ilmu supranatural yang sangat tinggi.
Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa dyah Krtanegara ini bernama Raden Hardiwijaya, putra Prabu Murdaningkung. Raden Hardiwijaya iai naik tahta dengan sebutan Prabhu Brawijaya III, dengan patihnya Panular II (Adipati Patih Demang Panular II- Pangeran Demang). Kehidupan Prabu Brawijaya III ini penuh kemewahan dan kebahagiaan. Bahkan dalam Prasasti Widjaya-parakrama-wardana, sebagaimana ditulis oleh Prof HM Yamin dalam bukunya Negarakrtagama Sapta-parwa, menguraikan: Dipertuan segala machluk yang menguasai seluruh duniadan tak ubahnya sperti yang tertua darisegala Dewa, nan mengatasi puncak bagunan segala raja-raja musuh, sehingga tak ubahnya sepeti Wisjnu yang mengirimkan tentaranya menuju segala penjuru alam, nan berjiwa pemujaan segakla pujian seluruh buana, yang menjadi daerah kekaguman tentang sekalian ilmu pengetahuannya, nan berwajah kembang tunjung utama, yang berseri-seri karena kelimpahan pujian dan kemegahan gilang gemilang, yang dihinggapi serangga tabuhan berbondongan, yaitula, seri mahkota sekalian raja-raja yang lain, nan berpelayan orang-orang utama diantara para musuh dikalahkan dan yang bergirang hati sehingga mengganti upah mereka dengan kegembiraan, seperti berlaku dengan para pelayan yang lain, nan bertubuh menjadi pujian segala orang yang mencari perlindungan padanya, karena gelisah dan berpecah-belah, nan bersifat lemah lembut seperti aliran batang air Gangga yang memiliki pengetahuan dan kemurahan, nan bersemangat dapat dibandingkan dengan suatu bangunan gedung dan yang berkatetapan sebagai kaki raja di gunung (Adri-sja yaitu Himalaya), raja yang mahaluhur dan mahatunggal, serta terpuji sebesar-besar diatas dunia jagad, nan menyedarkan muka segala manusia yang baik-baik, seperti Dang Rembulan mengembang bunga tunjung, nan menghilang gelap gulita pada watak manusia, seolah-olah berlaku sebagai sang mentari, nan mengarahkan wajah-muka kepada kebajikan yang mendekatinya, tetapi yang memalingkan muka dari segala keburukan, nan mengembara diatas bumi menyilaukan mata karena bersumarak bersih-nirmala disebabkan kemegahan beliau, yang bertegak gelar kerajaan berbunyi Wijaya-parakrama-wardana dan bernama kecil Dyah Krtawijaya. Sedemikian rupa pujian serta penggambaran tentang figure maharaja terhadap sang Prabhu Brawijaya III dalam prasati Wijaya-parakrama-wardana yang berasal dari Desa Surodakan (Trenggalek) bertarich tahun saka 1369 = Masehi 1447.
Dalam prasati tersebut juga sapat diketahui bahwa system pemerintahan yang dijalankan oleh sang Prabhu Brawijaya III menganut system pembagian kekuasaan (Distribution of Power) dan diatur melalui perintah Seri Paduka Maharaja. Sebagai contoh di bidang sengketa hokum, kewenangannya diberikan kepada Hakim Dharma Upapati. Pekerjan mereka memutuskan sengketa-sengketa hukum dan berbagai perselisihan. Adapun perintah Seri Paduka Maharaja dalam hal ini menyebutkan: 1. Pamegat Kandangan Tua: Dang Acarca Naradaya, yang putus pengajiannya dalam ilmu mantic agama Budha, 2. Pamegat Manghuri: Dan Acarca Taranata, yang putus pengajiannya dalam ilmu Waisjsika, 3. Pamegat Pamotan: Dang Arcaca Arkanata, yang putus pengajiannya dalam ilmu mantik dan bahasa, 4. Pamegat Kandangan Muda: Dang Arcaca Djina-indra, yang putus pengajiannya dalam ilmu mantik dan agama Budha.
Banyak tindakan-tindakan strategis yang diambil Paduka Raja Brawijaya III selama dalam menjalankan pemeritahan kerajaan, baik dalam menindak lanjuti konsep-konsep pemerintahan sebelumnya maupun kebijakan –kebijakan barunya. Tercatat tindakan populernya adalah pembentukan daerah-daerah perdikan (swasembada) yang masih bisa kita lihat sampai tahun 1979, karena setelah tahun tersebut tanah- tanah perdikan maupun tanah-tanah adat lainnya telah terhapus dengan UU No 5 Tahun 1979 Tentang Pemeritanhan Desa, yang mengatur tentang nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa. Dengan berlakunya UU No 5 Tahun 1979 tersebut maka seluruh tanah-tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia , diseragamkan setatusnya sesuai dengan sistem hukum pertanahan di Indonesia. Sebagai konsekwensinya, bila semula didaerah perdikan memiliki kewenangan sendiri, seperti adanya kewenangan untuk mengatur jual-beli tanah, menetapkan dan memungut pajak di wilayah perdikan, semua kewenangan tersebut menjadi terhapus, bahkan wajib mengikuti segala aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Waktupun berlalu sesuai kebijakan pemeritah yang berkuasa, UU No 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa dihapus dan diganti dengan UU No 2 Tahun !999 Tentang Pemerintahan Daerah, yang secara implisit telah mengatur tentang pemeritahan desa. Namun status dan kewenangan daerah perdikan sebagaimana telah pernah dibentuk berdasarkan perintah Seri Paduka Maharaja Sinuhun Prabhu Brawijaya III pada masa pemerintahan Kerajaan Mojopahit tersebut sudah tidak ada tempat lagi untuk kembali, sehingga semua hanya tinggal kenangan.
*Penulis adalah kelompok peduli Mojopahit, tergabung dalam Gotrah Wilwatikta, Mojokerto-Jawa Timur.

Kerajaan Mojopahit Masa Brawijaya VII

Dualisme kepemimpinan Mojopahit akibat dari adanya perebutan kekuasaan, telah memecah belah pusat pemerintahan Mojopahit. Rakyat menjadi susah dan bingung harus mengikuti siapa, diantara kedua pemimpin yang sedang berebut kekuasaan tersebut.

Anam Anis, Mojokerto

Hal ini terjadi setelah Bhre Pandan Salas, raja Mojopahit yang berkuasa di Trowulan, diusir oleh Bhre Krtabhumi dan melarikan diri ke Tumapel, kemudian ke Daha – Kediri. Meskipun telah terusir hingga Daha-Kediri, namun Bhre Pandan Salas masih memegang kekusaan sebagai raja Mojopahit dan meneruskan pemerintahannya hingga meninggal dunia. Sepeninggal Bhre Pandan Salas (Dyah Suraprabhawa), kedudukan sebagai raja Mojopahit digantikan oleh anaknya yaitu Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Bhattara I Kling dengan sebutan Brawijaya VII). Dalam menjalankan pemerintahannya , dia tetap berkedudukan di Daha-Kediri. Itulah sebabnya dalam prasasti-prasati yang dikeluarkan masih disebutkan pula sebagai Paduka Sri Maharaja Bhattara I Kling, disamping disebut sebagai Paduka Sri Maharaja Wilwatiktapura Janggala Kediri Prabhunutha. Dengan demikian terdapatlah dua pemerintahan Mojopahit, yaitu Mojopahit di Trowulan dibawah pimpinan Bhre Krtabhumi (BrawijayaV) dan di Daha-Kediri dibawah pimpinan (BrawijayaVI), kemudian dilanjutkan oleh Dyah Ranawijaya (Brawijaya VII), masuk silsilah Rajawangsa dinasti raja-raja Mojopahit-Girindrawardhana.
Pada masa pemerintahannya, Ranawijaya berusaha dengan susah payah untuk mempersatukan kembali wilayah kerajaan Mojopahit yang telah pecah belah akibat pertentangan (internal) merebutkan kekuasaan. Untuk melaksanakan cita-citanya tersebut, pada tahun1478 M, Ranawijaya melancarkan serangan terhadap Bhre Krtabhumi, guna merebut kembali kekuasaan ayahnya (Bhre Pandan Salas) yang pernah diambil alih secara paksa oleh Bhre Krtabhumi. Serangan tersebut berhasil dan Bhre Krtabhumi gugur di Kedaton (peristiwa ini tertulis dalam Kitab Paraton, sebagaimana disitir oleh Hasan Djafar, Girindrawardhana,1978 : 50)
Dalam menjalankan tugas pemerintahannya, Dyah Ranawijaya awalnya didampingi seorang Rakyan Apatih bernama Pu Wahan, sedangkan dimasa akhirnya didampingi seorang patih bernama Udara (anak patih Pu Wahan). Sebagai seorang patih, waktu itu patih Udara atau patih Andura sangat berpengaruh di dalam pemerintahan Mojopahit dan kekuasaannya sangat besar sekali. Bahkan di manca negara ada yang menganggapnya sebagai raja. Mengingat peranan dan kekusaannya yang sangat besar, mungkin ia mempunyai kedudukan sebagai patih Hamangku Bhumi seperti kedudukan Gajah Mada yang menggantikan Arya Tadah, pada masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi dan berlanjut ke pemerintahan Hayam Wuruk.
Dalam silsilsah Rajawangsa dinasti raja-raja Mojopahit-Girindrawardhana, Dyah Ranawijaya menempati urutan raja-raja terakhir (ke XII) dan mendapat sebutan Raja Brawijaya VII (catatan: tidak semua raja-raja Mojopahit mendapat sebutan Brawijaya, kecuali hanya 7 orang raja saja). Sesuai namanya, Ranawijaya terdiri dari dua unsur suku kata, yaitu Rana dan Wijaya. Dalam istilah sekarang nama Rana berarti Penutup Pintu (dalam bahasa Jawa Aling-aling), akan tetapi artinya lebih dalam adalah Penutup Generasi. Sedangkan unsur Wijaya, tentunya masih mengacu bahwa Diah Ranawijaya masih keturunan Raden Wijaya. Jadi Ranawijaya artinya Penutup Keturunan Wijaya. Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa Dyah Ranawijaya (Rawijaya VII) adalah merupakan raja terakhir kerajaan Mojopahit. Menurut sumber tradisi, Mojopahit runtuh (Sirno Ilang Kertaning Bumi) terjadi pada tahun 1478 M, akan tetapi menurut sumber asing China dari zaman Dinasti Ming masih menyebutkan adanya kerajaan Mojopahit pada tahun1499 M. Bahkan penulis Italia Anthonio Pigafetta pada tahun 1522 M, masih menyebut adanya Kota Mojopahit. Pada tahun-tahun tersebut, beberapa sumber telah menyebutkan bahwa Pati Unus adalah raja Demak (merupakan kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa). Kerajaan baru di pantai Jawa ini makin lama makin mendesak kerajaan Mojopahit yang makin melemah akibat pertentangan keluarga, akhirnya Mojopahit tidak dapat bertahan lagi dan kemudian musnah ditelan masa.
Kini masa kejayaan Mojopahit memang telah berlalu, namun banyak peninggalan berharga (budaya positif) yang dapat kita pelajari dan dikelola dengan baik, kemudian digunakan untuk kepentingan membangun msyarakat dan Bangsa Indonesia, baik dimasa kini maupun dimasa-masa mendatang. Sudah saatnya kita berjuang dan bekerja untuk kemakmuran bangsa dengan dasar Logika, Etika dan Estetika. Mari kita bangun negeri ini dengan mengandalkan budi pekerti dan moral yang baik serta dengan cara-cara yang benar yang dapat diterima oleh masyarakat. Janganlah masyarakat yang hingga kini masih kesulitan ekonomi sebagai dampak krisis multidimensi, disuguhi terus dengan permainan politik yang membosankan. Marilah kita buang jauh-jauh sikap congkak, arogansi dengan mengutamakan kekuatan okol daripada akal, perebutan kekuasaan dengan cara memaksakan kehendak, saling fitnah bemi memperoleh kekayaan dan kekuasaan. Sejarah telah membuktikan bahwa pertengkaran-pertengkaran sebagai akibat perebutan kekuasaan (tahta) di kerajaan Mojopahit telah menghancurkan peradaban bangsa. Hal ini terbukti bahwa perebutan kekuasaan hingga munculnya dualisme kepemimpinan di Mojopahit, ternyata menjadi fakta akhir, yang telah mengakhiri kebasaran Mojopahit. Masihkah kita membutakan hai itu !!!

Penulis adalah kelompok Peduli Mojopahit yang tergabung dalam Gotrah Wilwatikta, Mojokerto - Jawa Timur.

Kerajaan Mojopahit pada Masa Raja Brawijaya IV

Tersebut nama Brawijaya IV adalah Dyah Wijaya Kumara (Bhre Pamotan – Bhre Keling – Bhre Kahuripan). Di dalam Prasasti Waringin Pitu yang dikeluarkan oleh raja Krtawijaya, disebutkan bahwa Dyah Wijaya Kumara adalah seorang raja terpelajar, bergelar Rajasa Wardhana, memiliki jiwa petualang.

Oleh : Anam Anis

UCAPAN dan perintahnya dianut serta diturut para cendekiawan. Atas Kehendak Dewata Agung (Girinata), Dyah Wijaya Kumara dengan patihnya Raden Banteng dijadikan Penguasa Lelembut di tanah Jawa (di alam nyata dan maya). Menurut Dr. Suwito Santoso, kerajaan dan istananya dalam sebuah hutan yang bernama Hutan Ketonggo, yang kelak akan menjadi Kerajaan besar di tanah Jawa, setelah adanya Ratu Adil.
Melihat gelar Rajasa Wardhana, maka Brawijaya IV yang bernama Dyah Wijaya Kumara ini masih masih keturunan Ken Arok, yang memiliki kesamaan pada tubuhnya memancarkan cahaya (aurora). Hal ini menunjukkan, bahwa sang Maharaja diketahui oleh rakyatnya telah mempunyai kekuatan supranatural yang tinggi atau kesaktian. Dalam prasasti juga disebutkan, bahwa baginda menghidupkan segala agama, melipatgandakan hasil bumi, terutama padi demi kesejahteraan rakyat. Pada masa pemerintahan Brawijaya IV tersebut telah muncul dan berkembang berbagai agama di Kerajaan Mojopahit, antara lain: tradisi kepercayaan asli, agama Hindu, agama Budha dan agama Islam. Sebagai ahli agama, raja sangat bertoleransi dengan berbagai agama, sehingga terciptalah hidup dalam kerukunan beragama.
Dalam akhir kehidupannya, Prabhu Brawijaya IV bersama dengan Patih Banteng telah menghilang, yang menurut para Prajurit maupun pengawalnya, hilang di hutan Penggerit, yang kemudian berubah nama menjadi hutan Ketonggo. Akhirnya oleh seluruh pembesar, keluarga dan sebagaian pasukannya (yang mengikuti berburu) menyatakan Prabhu Brawijaya IV dan Patih Banteng tewas dalam hutan dan tidak kembali lagi. Untuk itu kemudian kedudukannya digantikan oleh Prabhu Brawijaya V bernama Raden Arya Angka Wijaya, anaknya yang dianggap pantas menggantikan kedudukan sang Prabhu Brawijaya IV. Sedangkan Patih Banteng yang mengikuti pergi sang Prabhu juga di anggap tewas dan kedudukannya di gantikan oleh anaknya bernama Raden Gajah dengan sebutan Patih Gajah, yang kemudian terkenal dengan nama Patih Gajah Muda II.
Prabhu Brawijaya IV dalam menjalankan kekuasaannya ternyata juga meneruskan kebijakan pendahulunya, yaitu memutuskan pemberian status tanah perdikan yang mempunyai kedudukan otonomi (swatantradeg – ringgit). Salah satu contoh dapat dilihat dalam seri Tatanegara Mojopahit, Prof. M. Yamin (218), bagian Anugeraha disebutkan: ” oleh karena sang Aria Surung tak putus-putusnya menyatakan kesetiannya, maka dia menerima anugeraha berupa sebidang tanah yang akan dijadikan tanah perdikan dengan nama Pemintihan. Berhubungan dengan itu maka Pamegat Djambi menerima perintah supaya membuat piagam kerajaan dengan bertujuan untuk menetapkan kedudukan tanah- perdikan sebaik-baiknya. Karena tanah pemerintah telah dianugerahkan oleh Sri Baginda Maharaja kepada sang Aria Surung agar supaya diwariskan turun-temurun kepada anak cucunya sang Aa Surung sampai dengan nanti hari kemudian”.
Di dalam penganugerahan tanah perdikan, ternyata juga disertai dengan pernyataan sumpah (kutukan) dari Baginda Maharaja.: ”sekiranya ada orang yang merintangi penganugerahan seri Baginda Maharaja, baik sekarang atau nanti sampai ke akhir zaman, maka akan ditimpa hukuman maha-kehajatan yang lima dan oleh sebaliknya dari tujuh macam kemakmuran seperti diucapkan oleh bibir Berahma. Selanjutnya mereka akan binasa menjadi abu dan sisa akan kena aniaya segala yang masih tinggal dengan termasuk anak dan cucunya mereka semuanya”. Begitulah diucapkan di depan hadirat saksi yang 13, barang demikian hendaknya berlaku.
Seperti telah diketahui dalam sejarah, bahwa tanah-tanah perdikan telah memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam kerajaan dan keberadaannya banyak terdapat di tanah Jawa. Gangguan terhadap tanah perdikan, disamakan dengan penolakan terhadap perintah seri Baginda Maharaja, sehingga bagi siapa saja yang melanggarnya diancam akan terkena kutukannya.
Kini semua telah berubah sejalan dengan perjalanan bangsa, dianggap sudah tidak berlaku lagi dan diabaikan begitu saja. Tanah-tanah perdikan yang dahulu telah dijaga dengan segala hormat seperti penghormatan terhadap seri Baginda Maharaja, keberadaannya di tanah Jawa sudah tak ada lagi. Warisan leluhur bangsa dianggap sudah tak berharga dan tak dapat dipertahankan lagi di masa sekarang. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, perusakan alam, penebangan liar, penggundulan hutan, penambangan/pengeboran perut bumi tanpa ada batasnya. Meskipun negara memiliki kewenangan dan otoritas untuk mengelola bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, ternyata tak mampu menjalankan sesuai dengan keharusannya.
Demikianlah keadaannya, sehingga kini dapat kita saksikan bersama-sama telah terjadi bencana alam dimana-mana. Putusnya ekosistem telah merubah keadaan alam menjadi cerai-berai dengan membentuk karakternya sendiri-sendiri. Munculah tsunami, banjir bandang, gempa bumi, gunung meletus, sumburan lumpur Lapindo, dan lain-lain. Mungkinkah semua ini pertanda masih berlakunya kutukan sang Prabhu Brawijaya? hanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu atas segalanya.
Perjalanan sejarah Mojopahit pada masa Brawijaya IV telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya dibidang swasembada pangan dan toleransi beragama. Di bidang swasembada pangan, Baginda raja telah berketetapan untuk memproteksi keamanan bagi kaum petani, dengan perintah seri Baginda Maharaja untuk menghukum seberat-beratnya kepada siapa saja yang mengganggu kehidupan petani. Adapun tujuannya tak lain adalah agar rakyat (petani) dapat berkosentrasi dalam peningkatan produksi pangan, sebagai penopang kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Selain memproteksi keamanan, Baginda raja juga banyak memberikan tehnologi baru dalam bidang pertanian, mulai dari tehnologi pengelolaan lahan sawah, tehnologi pembibitan dan pemeliharaannya, sampai dengan pemungutan hasil panenan.
Dengan cara demikian ternyata hasilnya sangat menggembirakan, dimana-mana produksi pangan meningkat, sehingga rakyat menjadi senang dan semakin menghormati dan menjunjung tinggi keagungan rajanya. Begitu pula di bidang agama, Baginda sebagai ahli agama telah berhasil menciptakan toleransi kehidupan beragama, sehingga para pemeluk agama pada saat itu telah dapat duduk berdampingan, bersatu dalam pikiran dan perbuatan, membangun negara yang kokoh lahir dan batin, dijiwai dengan semangat hidup bergotong royong.


Penulis adalah kelompok peduli Mojopahit tergabung dalam Gotrah Wilwatikta. Mojokerto Jawa Timur.

GAJAH MADA, Sang Pemersatu Bangsa

Oleh : Anam Anis


Gajah Mada adalah tokoh legendaris yang bisa menjadi figur Pemersatu Bangsa. Kekaguman terhadap Gajah Mada yang begitu besar telah membentuk suatu mitos tentang dirinya. Sebagai suatu gejala, mitos, begitu kuat mempengaruhi perjalanan sejarah sampai berabat-abat lamanya. Sejauh masih dalam koridor kebudayaan dan perkembangan peradaban, mitos dapat merefleksikan dirinya dengan sejarah kekinian. Menurut Frazer, pada hakekatnya pikiran manusia itu tidak mau menerima begitu saja segala yang ditangkapnya dengan akal dan pancaindra. Secara naluriah, pikiran mencari sesuatu yang diangggap lebih nyata dan lebih kekal daripada kenyataan duniawi. Hal ini membentuk kecendrungan untuk membayangkan sesuatu pikirannya sendiri, terus menerus mencari sesuatu yang tersirat dibalik sesuatu. Sedangkan Locher, menyatakan “mitos” yang hidup dalam masyarakat (suku) di Indonesia merujuk pada kejadian-kejadian yang sekaligus berhubungan dengan masa lampau, sekarang dan akan datang.
Selama lebih dari enam ratus tahun kemudian sejak kemunculnya, Gajah Mada hidup disetiap hati masyarakat Indonesia melalui mitos, yang kadang-kadang begitu kuat mempengaruhi perjalanan sejarah bangsa. Itulah sebabnya sejarah Gajah Mada akan selalu bercampur dengan dongeng akibat mitos itu. Atas hal tersebut kita tidak bisa bebuat banyak. Temuan “Arca” di Trowulan, berupa arca tanpa badan dengan lubang pada kepalanya, yang kemudian disosialisasikan oleh Mohammad Yamin sebagai “wajah” Gajah Mada, dipercaya oleh masyarakat hingga kini. Semua patung dan gambar-gambar Gajah Mada yang sekarang dibuat selalu terinspirasi oleh arca tersebut. Sampai hari ini tidak ada seorang pun yang membantah. Apakah itu suatu kebenaran sejarah? ternyata tidak ada yang bisa menjawabnya. Masyarakat kita sudah terlanjur sangat meyakini, bahwa itulah wajah Gajah Mada sebenarnya.
Dari kajian leteratur, sangatlah tidak lazim seseorang diarcakan menurut wujudnya. Raja Dirajapun diarcakan sebagai dewa, seperti Raden Wijaya sebagai pendiri kerajaan Mojopahit diarcakan sebagai “Harihara” di Candi Simping atau Sumberjati. Begitu pula keturunan raja-raja semuanya diarcakan sebagai dewa, bukan wujud aslinya. Andaikata Gajah Mada diarcakan, tentu juga berwujud Dewa, karena seorang Gajah Mada identik dengan kebesaran Mojopahit. Dengan demikian pertanyaannya, mungkinkah arca tanpa kepala yang semula ditemukan di Trowulan tersebut merupakan wujud (wajah) asli Gajah Mada?
Gajah Mada sang pemersatu bangsa diwilayah nusantara telah mengabdi sepenuh hati pada negara dan bangsa selama berpuluh tahun. Peran Gajah Mada yang dimulai sebagai Bekel Bhayangkara pada masa pemerintahan Prabhu Jayanegara, kemudian diangkat menjadi Patih di Kahuripan dan di Daha Kediri, selanjutnya dimasa pemerintahan Tribhuanottungggadewi diangkat menjadi Maha Patih Amangkubhummi di kerajaan Mojopahit, hingga masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk, dengan program politiknya sebagaimana tertuang dalam sumpah “Amukti Palapa”, telah mampu membawa Mojopahit kepuncak kejayaan dan zaman keemasan. Dengan falsafah kenegaraan “Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa” Hayam Wuruk bersama dengan Gajah Mada, telah membawa seluruh rakyat Mojopahit, “Wilwatikta Agung” kepuncak kebesaran bangsa dan membawa seluruh rakyatnya mengalami kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan. Gambaran kehidupan “toto tentrem kerto raharjo” ternyata dimulai dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu dan tidak tebang pilih, hukum berlaku bagi siapa saja tanpa kecuali. Pejabat dan rakyat semuanya patuh hukum. Menentukan atau memutuskan seseorang telah bersalah secara hukum, tidak diperlukan waktu yang lama atau bertahun, sehinggga tidak ada peluang bagi seorang terdakwa untuk melarikan diri sebelum kasusnya diputuskan oleh lembaga peradilan.
Ucapan para para pejabat kerajaan, selalu dapat dipercaya oleh rakyat karena memang dapat dilaksanakan. Keberhasilan pembangunan merupakan buah kesungguhan dari seluruh bangsa di nusantara, menyatukan pikiran dan tindakan membangun negara bangsa dibawah kendali Raja Yang bijaksana Prabhu Hayam Wuruk bersama-sama dengan Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada.