Wednesday, December 17, 2008

Kerajaan Mojopahit Masa Brawijaya VII

Dualisme kepemimpinan Mojopahit akibat dari adanya perebutan kekuasaan, telah memecah belah pusat pemerintahan Mojopahit. Rakyat menjadi susah dan bingung harus mengikuti siapa, diantara kedua pemimpin yang sedang berebut kekuasaan tersebut.

Anam Anis, Mojokerto

Hal ini terjadi setelah Bhre Pandan Salas, raja Mojopahit yang berkuasa di Trowulan, diusir oleh Bhre Krtabhumi dan melarikan diri ke Tumapel, kemudian ke Daha – Kediri. Meskipun telah terusir hingga Daha-Kediri, namun Bhre Pandan Salas masih memegang kekusaan sebagai raja Mojopahit dan meneruskan pemerintahannya hingga meninggal dunia. Sepeninggal Bhre Pandan Salas (Dyah Suraprabhawa), kedudukan sebagai raja Mojopahit digantikan oleh anaknya yaitu Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Bhattara I Kling dengan sebutan Brawijaya VII). Dalam menjalankan pemerintahannya , dia tetap berkedudukan di Daha-Kediri. Itulah sebabnya dalam prasasti-prasati yang dikeluarkan masih disebutkan pula sebagai Paduka Sri Maharaja Bhattara I Kling, disamping disebut sebagai Paduka Sri Maharaja Wilwatiktapura Janggala Kediri Prabhunutha. Dengan demikian terdapatlah dua pemerintahan Mojopahit, yaitu Mojopahit di Trowulan dibawah pimpinan Bhre Krtabhumi (BrawijayaV) dan di Daha-Kediri dibawah pimpinan (BrawijayaVI), kemudian dilanjutkan oleh Dyah Ranawijaya (Brawijaya VII), masuk silsilah Rajawangsa dinasti raja-raja Mojopahit-Girindrawardhana.
Pada masa pemerintahannya, Ranawijaya berusaha dengan susah payah untuk mempersatukan kembali wilayah kerajaan Mojopahit yang telah pecah belah akibat pertentangan (internal) merebutkan kekuasaan. Untuk melaksanakan cita-citanya tersebut, pada tahun1478 M, Ranawijaya melancarkan serangan terhadap Bhre Krtabhumi, guna merebut kembali kekuasaan ayahnya (Bhre Pandan Salas) yang pernah diambil alih secara paksa oleh Bhre Krtabhumi. Serangan tersebut berhasil dan Bhre Krtabhumi gugur di Kedaton (peristiwa ini tertulis dalam Kitab Paraton, sebagaimana disitir oleh Hasan Djafar, Girindrawardhana,1978 : 50)
Dalam menjalankan tugas pemerintahannya, Dyah Ranawijaya awalnya didampingi seorang Rakyan Apatih bernama Pu Wahan, sedangkan dimasa akhirnya didampingi seorang patih bernama Udara (anak patih Pu Wahan). Sebagai seorang patih, waktu itu patih Udara atau patih Andura sangat berpengaruh di dalam pemerintahan Mojopahit dan kekuasaannya sangat besar sekali. Bahkan di manca negara ada yang menganggapnya sebagai raja. Mengingat peranan dan kekusaannya yang sangat besar, mungkin ia mempunyai kedudukan sebagai patih Hamangku Bhumi seperti kedudukan Gajah Mada yang menggantikan Arya Tadah, pada masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi dan berlanjut ke pemerintahan Hayam Wuruk.
Dalam silsilsah Rajawangsa dinasti raja-raja Mojopahit-Girindrawardhana, Dyah Ranawijaya menempati urutan raja-raja terakhir (ke XII) dan mendapat sebutan Raja Brawijaya VII (catatan: tidak semua raja-raja Mojopahit mendapat sebutan Brawijaya, kecuali hanya 7 orang raja saja). Sesuai namanya, Ranawijaya terdiri dari dua unsur suku kata, yaitu Rana dan Wijaya. Dalam istilah sekarang nama Rana berarti Penutup Pintu (dalam bahasa Jawa Aling-aling), akan tetapi artinya lebih dalam adalah Penutup Generasi. Sedangkan unsur Wijaya, tentunya masih mengacu bahwa Diah Ranawijaya masih keturunan Raden Wijaya. Jadi Ranawijaya artinya Penutup Keturunan Wijaya. Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa Dyah Ranawijaya (Rawijaya VII) adalah merupakan raja terakhir kerajaan Mojopahit. Menurut sumber tradisi, Mojopahit runtuh (Sirno Ilang Kertaning Bumi) terjadi pada tahun 1478 M, akan tetapi menurut sumber asing China dari zaman Dinasti Ming masih menyebutkan adanya kerajaan Mojopahit pada tahun1499 M. Bahkan penulis Italia Anthonio Pigafetta pada tahun 1522 M, masih menyebut adanya Kota Mojopahit. Pada tahun-tahun tersebut, beberapa sumber telah menyebutkan bahwa Pati Unus adalah raja Demak (merupakan kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa). Kerajaan baru di pantai Jawa ini makin lama makin mendesak kerajaan Mojopahit yang makin melemah akibat pertentangan keluarga, akhirnya Mojopahit tidak dapat bertahan lagi dan kemudian musnah ditelan masa.
Kini masa kejayaan Mojopahit memang telah berlalu, namun banyak peninggalan berharga (budaya positif) yang dapat kita pelajari dan dikelola dengan baik, kemudian digunakan untuk kepentingan membangun msyarakat dan Bangsa Indonesia, baik dimasa kini maupun dimasa-masa mendatang. Sudah saatnya kita berjuang dan bekerja untuk kemakmuran bangsa dengan dasar Logika, Etika dan Estetika. Mari kita bangun negeri ini dengan mengandalkan budi pekerti dan moral yang baik serta dengan cara-cara yang benar yang dapat diterima oleh masyarakat. Janganlah masyarakat yang hingga kini masih kesulitan ekonomi sebagai dampak krisis multidimensi, disuguhi terus dengan permainan politik yang membosankan. Marilah kita buang jauh-jauh sikap congkak, arogansi dengan mengutamakan kekuatan okol daripada akal, perebutan kekuasaan dengan cara memaksakan kehendak, saling fitnah bemi memperoleh kekayaan dan kekuasaan. Sejarah telah membuktikan bahwa pertengkaran-pertengkaran sebagai akibat perebutan kekuasaan (tahta) di kerajaan Mojopahit telah menghancurkan peradaban bangsa. Hal ini terbukti bahwa perebutan kekuasaan hingga munculnya dualisme kepemimpinan di Mojopahit, ternyata menjadi fakta akhir, yang telah mengakhiri kebasaran Mojopahit. Masihkah kita membutakan hai itu !!!

Penulis adalah kelompok Peduli Mojopahit yang tergabung dalam Gotrah Wilwatikta, Mojokerto - Jawa Timur.

1 comment:

  1. alangkah baiknya apabila tulisan Anda ini disertai sumber-sumber tertulisnya dilengkapi dengan catatan kaki, agar dapat kami menelusuri lebih dalam lagi. tks

    ReplyDelete